Jika pengusaha berkolaborasi dengan pejabat dalam melincinkan sebuah proyek, yang jadi korban pastilah rakyat. Karena dalam proyek yang diperoleh melalui kongkalingkong itu, standarnya akan dikurangin. Misalnya komposisi campuran semen pasir untuk bangunan seharusnya 1 : 3, menjadi 1 : 4 atau bahkan 1 : 5. Peralatan kedokteran yang seharusnya berkualitas super, dibelikan yang KW. Atau, kalau ingin mendapatkan barang bagus, harganya dimark-up sampai dua kali lipat atau lebih. Begitulah kebiasaan dalam pelaksanaan sebuah proyek. Dan ini sudah lazim di Indonesia.
Mengapa terjadi seperti itu? Karena pengusaha ingin dapat untung, sementara “jatah preman” untuk pejabat, bahkan untuk anggota legislatif penggetok anggaran juga harus dikeluarkan. Maka biaya non budgeter itu harus diambil dari nilai pagu proyek yang sesungguhnya. Jangan heran jika kemudian ada gedung ambruk, beras bansos penuh kutu, bahkan proyek besar seperti wisma atlet jadi terbengkalai karena tidak memenuhi syarat. Ada pula pejabat yang menjual kewenangannya kepada buronan seperti perwira tinggi kepolisian. Macam-macamlah modus yang dilakukan untuk merampok negara.
Pejabat dan pengusahanya memang sudah ditangkap, tetapi apakah kerugian negara bisa dikembalikan? Kebanyakan tidak. Yang jelas baik pejabat maupun pengusahanya setelah keluar dari penjara tetap bisa hidup sejahtera.
Di India, budaya ini juga sudah berurat berakar. Akibatnya 22 anggota pasukan komando tewas ketika berusaha membebaskan rekan-rekannya dari sekapan teroris, gara-gara senjata yang mereka gunakan macet.
47 anak penderita gagal ginjal mati karena rumah sakit tidak memiliki tabung oksigen, pada saat mereka terengah-engah saat bernapas. Selain itu 700 ribu petani dicengkeram hutang karena bunga bank yang tinggi. Seorang petani bahkan memilih bunuh diri setelah traktornya disita dan dipermalukan di depan anak istrinya oleh debt collector.
Vikram Rathore seorang prajurit yang marah karena melihat langsung teman-temannya tewas dibantai teroris, membuka kebejatan pengusaha pemasok senjata, sehingga bisnisnya dibanned oleh pemerintah.
Sang pengusaha lalu membalas dendam, dengan mengirim orang-orang suruhan — termasuk aparat — untuk menghabisi Vikiram. Vikram disika, dan dilempar dari atas pesawat. Untung dia jatuh ke sungai, hanyut dan diselamatkan oleh orang-orang dari suku terpencil di Cina. Sementara Aishywara, isterinya, difitnah telah mengkhianati negara dan dijebloskan ke penjara. Atas dakwaan itu Aishywara divonis hukuman gantung. Tetapi karena diketahui ia dalam keadaan hamil, hukumannya baru bisa dijalankan setelah anaknya lahir dan berusia 5 tahun.
Beberapa puluh tahun kemudian muncul pembajakan kereta api. Sang pembajak meminta agar pengusaha yang selama ini merugikan negara, diminta membayar tebusan yang sangat tinggi, jika ingin anaknya selamat. Uang tebusan itu lalu digunakan oleh sang pembajak, untuk melinasi hutang 700 ribu petani kepada bank.
Tidak lama kemudian terjadi lagi penyanderaan terhadap pejabat kementerian kesehatan yang telah menerima suap dari pengusaha, sementara layanan kesehatan di India amburadul. Penyanderan meminta agar sang pejabat memperbaiki fasilitas dan layanan kesehatan di rumah sakit dalam tempo lima jam.
Banyak lagi tindakan teror yang terjadi di India. Uniknya tebusan yang diminta dikembalikan untuk kemaslahatan masyarakat. Belakangan diketahui pelakunya adalah Vikram Rathore dan Asad, anaknya yang lahir di penjara, dan telah bertugas sebagai pejabat yang menangani penjara. Asad merekrut para perempuan korban kezaliman penguasa dan aparat, untuk membantunya melakukan teror dan memeras pemerintah. Di antaranya Laksmi anak petani yang ayahnya bunuh diri, atau dokter Eeram yang dituduh menjadi penyebab kematian 47 anak di rumah sakit.
Berkat gerakan teror yang dilakukan oleh Vikram Rathore dan Asad, segala kekurangan dan penyimpangan dalam pelayanan terhadap masyarakat diperbaiki. Namun selama sang pengusaha dan penguasa yang sama tetap ada, tentu saja upaya Vikram dan Asad masih menemui rintangan. Dia iuga harus melenyapkan Kaalie, sang pengusaha yang menjalankan usahanya ala mafia.
Paparan di atas adalah kisah dalam film “Jawan” (Prajurit), sebuah action thriller produksi India yang diperankan oleh bintang nomor wahid India Shah Rukh Khan (memerankan tokoh Vikram Rathore dan Asad sekaligus / dobble casting), Nayanthara (Narmada Rai Rathore), Deepika Padhukone (Aishywara Rathore), Priyamani (Laksmi), Sanya Maholtra (dr. Eeram), Kaalie Galkwad (Vijay Setyupathi) dan banyak lagi.
Tontonan sepanjang 180 menit lebih ini cukup memikat. Di bagian tengah filn sempat muncul tulisan interval, mungkin di negara asalnya penonton bisa istirahat dulu untuk ke toilet atau beli camilan. Seperti umumnya film India, banyak adegan yang terasa lebay, seperti adegan action yang selalu diseling dengan gerakan lambat (slow motion), atau adegan-adegan tak masuk akal lainnya. Tapi harus diakui pula, film-film India sangat kuat dalam dramaturgi. Banyak kritik sosial maupun koreksi terhadap pemerintah maupun perilaku pejabat / aparatnya yang bisa dimunculkan dengan gamblang. Konsep seperti itu sampai kiamat pun gak bakalan muncul dalam film Indonesia.
Pesan-pesan yang terkandung dalam “Jawan” sangat relevan dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Ada satu pesan menarik yang disampaikan oleh Vikram Rathore kepada masyarakat India, “Gunakanlah jarimu dengan benar saat mencoblos dalam pemilu. Jangan memilih karena tekanan atau dibayar, karena itu akan menentukan nasib rakyat ke depan”.
“Selama ini ketika membeli terigu kalian sangat cerewet bertanya, apakah terigu ini masih baik?; Saat membeli obat nyamuk yang hanya menyala 5 jam kalian sungguh cerewet bertanya, apakah obat nyamuk ini harum? Apakah bisa membunuh nyamuk? Tapi saat memilih pemimpin untuk lima tahun ke depan, kalian tidak pernah cerewet bertanya. Seharusnya kalian bertanya, apa yang akan kalian lakukan untuk lima tahun ke depan untuk kami? Apakah kesehatan anak-anak kami akan lebih baik? Apakah pendidikan anak-anak kami akan terjamin?”.
Pertanyaan untuk calon pemimpin perlu. Paling tidak, jika ia berjanji, logikanya harus bisa diterima. Seperti sekarang ada Cawapres yang menjanjikan BBM gratis dan tunjangan kehamilan sebesar Rp.6 juta. Dari mana anggarannya nanti? Harus dijelaskan, bukan asal ngejeplak!
Dulu capresnya ketika kampanye jadi Gubernur juga menjanjikan rumah DP nol persen. Oleh lawannya sudah diingatkan, bahwa itu tidak mungkin, karana bank tidak mau. Dia tetap ngotot. Setelah memimpin, janji-janjinya ambyar! Bikin stadion mewah untuk Persija, eh tim sepakbolanya malah main di Bekasi melulu. Banyak lagi janji yang tidak terwujud.
Ketika kampanye Jokowi juga pernah menjanjikan revolusi mental, dan tidak akan melibatkan keluarganya dalam pemerintahan. Hasilnya anak dan menantunya jadi walikota, dan mental masyarakat saat ini malah makin rusak. Mungkin saja naiknya sang anak dan menantu jadi walikota bukan karena peran langsung beliau, tetapi karena rakyat yang mau. Tetapi posisi presiden, akan memberi kemudahan bagi keluarga atau orang dekatnya untuk mendapatkan fasilitas. (matt bento)