Home / Berita / Olahraga & Hiburan

Minggu, 21 November 2021 - 10:33 WIB

IN MEMORIAM VERAWATY (1 Oktober 1957-21 November 2021)

Bulu Tangkis di Hati Verawaty

Kalau ditanya, siapa atlet Indonesia yang memiliki dedikasi tinggi pada bulu tangkis Indonesia? Akan saya jawab, Verawaty salah satunya.

Ketika Vera masih dibutuhkan tenaganya oleh bulu tangkis negerinya, Vera bahkan lebih memilih main bulu tangkis ketimbang dirinya.

Ini salah satu saja wawancara khusus dengan Verawaty ketika kembali mengayun raket, setelah berhenti total 7 bulan, pada bulan November 1984.

Januari tahun itu, Verawaty cedera di turnamen Taipei Open – kebetulan saya juga ikut rombongan tim ke Taiwan. Verawaty putus sebagian urat pengikat tendon achilles-nya ketika bertanding lawan pemain Denmark, Dorte Kyjaer.

Sempat dirawat 10 hari di RS Advent, Taipei sebelum dibawa ke Jakarta, dirawat dr Sularto spesialis Orthopedi di RSCM Cipto Mangunkusumo.

Enam bulan kemudian, sudah boleh berlatih kecil. Dan setelah 7 bulan, Vera mengayun raket lagi meski di nomor ganda dulu, sebelum main tunggal lagi.

Tim Indonesia Ketika Menjuarai Piala Sudirman Tahun 1989

Saya temui juara dunia 1980 Verawaty di Wisma Atlet (Senayan) – tempat tinggal Verawaty yang mendapat privilese boleh tinggal sama suaminya Fajrin, yang pengawai Departemen Agama waktu itu. Saya potret di wisma, Verawaty menggendong anaknya, Yandi yang waktu itu masih umur 1,5 tahun.

Baca Juga  Man-Utd Makin Percaya Diri Datangkan Manajer PSG, Mauricio Pochettino

Cerita tentang Yandi ini pun sungguh Verawaty banget. Ketika bertanding di Asian Games 1982 New Delhi, India, Verawaty dalam keadaan hamil 3 bulan, ya mengandung Yandi ini.

Ia nekat main dalam keadaan hamil, karena mengaku “utang janji”. Rupanya itu “janji” dengan KONI (Komite Olimpiade Nasional Indonesia) untuk ikut berupaya meraih medali untuk Indonesia.

Janji itu ia katakan saat ia menikah dengan Fajrin, pada 1979. Memang bukan janji tertulis. Ia katakan pada KONI (di antaranya Sekjen KONI MF Siregar, waktu itu), bahwa ia akan menunda dulu punya anak sampai 4 tahun setelah nikah. Waktu menikah, Verawaty masih top, umur pun masih 22 tahun.

Tapi manusia boleh berkehendak, Tuhan juga yang di atas menentukan. Ketika tengah bersiap untuk Asian Games New Delhi 1982, tak disangka perut Veraway pun “berisi”.

“Pak Tahir (Tahir Djide, pelatih fisik pelatnas bulu tangkis) tidak tahu kalau saya hamil. Semua orang juga tidak tahu, kecuali suami. Maka saya dapat porsi latihan seperti yang lain-lain..,” tutur Verawaty, pada saya di Wisma Atlet Senayan.

Memang, prestasi di Asian Games 1982 Verawaty hanya sampai perempat final, kalah lawan pemain nomor satu Korea Selatan Kim Yun-ja, belum sempat ketemu pemain-pemain China. Di Asian Games 1978 Bangkok Verawaty dapat medali emas bersama pasangannya Imelda Wigoena di ganda putri.

Baca Juga  Polisi Sita Ribuan Konten Porno dan 600 GB Adegan Tak Senonoh di Hard Disk Milik Siskaeee

“Saya bersyukur Yandi lahir sehat,” tutur Verawaty pula, “sekarang baru terpikir, bagaimana bahayanya kalau saja saya mengalami keguguran waktu itu…,” tutur Vera pula.

Utang Janji lagi

Utang janji pula, kata Verawaty, ketika saya tanya kenapa ia mengayun raket setelah dua kali gantung raket? Gantung, ayun, gantung dan ayun lagi. Kurang lebih seperti itu perjalanan Verawaty setelah menikah tahun 1979.

Gantung raket pertama ketika ia bersiap melahirkan, dan gantung raket kedua setelah putus urat pengikat tendonnya saat tanding di Taipei.

Saya temui Verawaty usai berlatih Selasa (13/11/1984). Kendala utama kata Vera, adalah berat badannya. Membengkak 7 kg, setelah tujuh bulan tak main bulu tangkis sampai mencapai 80-82 kg. Ketika masih top beratnya 72-73 kg.

Turun bermain lagi di nomor ganda, sama Merry Herliem, pernah juga Dwi Elmiati sebelum kemudian berpasangan cukup lama dengan Ivana Lie.

Prestasi di ganda yang menonjol diantaranya, ketika berpasangan dengan Imelda Wigoena sebelum 1980-an pernah juara di Asian Games 1978 Bangkok.

Baca Juga  Penghargaan untuk Santoso, Mantan Ketua PWI Kota Madiun di Hari Pers Nasional

Vera/Imelda juga juara di All England (1979). Di Kejuaraan dunia 1980, Verawaty juara tunggal dan di ganda bersama Imelda meraih perak kalah lawan pasangan Inggris, Nora Perry/Jane Webster.

Sedangkan bersama Ivana Lie, menjuarai Indonesia Taipei Open (1986), China Open (1986) dan Indonesia Open (1986).

Bersama Susi Susanti juga pernah hampir juara, dan dapat perak di Indonesia Open (1987). Ketika berpasangan dengan Yanti Kusmiati, Vera malah juara Indonesia Open (1988). Tahun itu bersama Yanti Kusmiati, Vera juga juara di Kejuaraan Asia di Lampung.

Di Ganda Campuran Verawaty juga berkali-kali juara. Verawaty/Eddy Hartono juara Piala Dunia (1986), Malaysia Open (1988), Dutch Open (1989), Indonesia Open (1989) dan World Grand Prix Finals (1989). Dengan Bobby Ertanto, Verawaty juga pernah juara Malaysia Open (1986).

Kini pahlawan bulu tangkis ini sudah menghadap Sang Pencipta, setelah didera penyakit kanker sejak lebih dari sebulan lalu.

Meski sudah lama meninggalkan gelanggang bulu tangkis menjelang 1990-an, namun dedikasi Vera pada bulu tangkis akan selalu dikenang. Seorang pemain yang tidak pernah menunjukkan rasa takut ataupun grogi-nya, baik dalam kalah dan menang.

Selamat Jalan, Vera….

JIMMY S HARIANTO

(Wartawan Kompas 1975-2012)

Share :

Baca Juga

wagiman deep

Berita

Wawancanda Wagiman Deep: Survei Capres yang Membagongkan

Berita

Ditjen Hubdat Beri Penghargaan Kepada Instansi Penyelenggara Transportasi Optimal
BENDUNGAN RANDUGUNTING

Berita

Bendungan Randugunting di Kabupaten Blora Dibangun dengan Skema Padat Karya

Olahraga & Hiburan

Ulang Tahun ke-61 Pimpinan Grup Tikoes di Prasada Suprobo

Berita

Polri dan Grab Perkuat Kolaborasi untuk Pelayanan Optimal bagi Masyarakat

Olahraga & Hiburan

Ada 7 “Dosa” Dalam Penyaluran PEN Subsektor Perfilman

Berita

UU Desa Direvisi, Majelis Perdamaian Desa Akan Dibentuk
deFACTO.id -- dalam rentang waktu lima tahun belakangan ini Kota Pagaralam mulai dikenal dunia sebagai salah satu sentra penghasil kopi terbaik. Padahal, kopi - atau kawe - masyarakat setempat menyebutnya - sudah ditanam sekurangnya sejak tahun 1918. Hal itu dimungkinkan karena terbukanya arus informasi berbasis IT serta mulai tergeraknya hati generasi muda petani kopi Pagaralam untuk memproses dan membranding hasil kopi mereka - dari sebelumnya yang hanya menjual mentahan. Berpuluh-puluh tahun lamanya kopi robusta dari Pagaralam dijual mentahan, diangkut dengan truk, dijual ke luar - dan dikapalkan pelalui pelabuhan Panjang (Lampung). Itulah barangkali sebabnya mengapa kopi Pagaralam (plus Lahat, Empatlawang dan sekitar gugusan Bukit Barisan) selama ini dikenal dengan julukan Kopi Lampung. Tak puas dengan stigma ini, anak-anak muda Pagaralam tergerak melakukan banyak terobosan, mulai dari memperbaiki sistem penanaman, panen, pascapanen, hingga branding. Tak puas dengan itu, mereka pun melengkapi "perjuangan" mereka dengan membuka kedai-kedai kopi, dilengkapi dengan peralatan semicanggih, - meski secara ekonomis usaha mereka belum menguntungkan. Di antara para "pejuang kopi" Itu bisa disebut misalnya Miladi Susanto (brand Kawah Dempo), Frans Wicaksono (Absolut Coffee), Sasi Radial (Jagad Besemah), Azhari (Sipahitlidah Coffee), Dian Ardiansyah (DNA Coffee), Wenny Bastian (Putra Abadi), Efriansyah (Rempasai Coffee), Dendy Dendek (Kopi Baghi), Hamsyah Tsakti (Kopi Kuali), Iwan Riduan (Waroeng Peko) dan banyak lagi. Dalam banyak lomba dan festival, lingkup nasional maupun internasional, kopi Pagaralam banyak dipuji dan diunggulkan - baik secara kualitas maupun orang-orang (petani & barista) yang ada di belakangnya* HSZ

Berita

Pagaralam Punya Kopi, Lampung Punya Nama