Home / Esai

Sabtu, 2 Agustus 2025 - 08:26 WIB

Di Atas Langit Masih Ada Langit (Kasus Tom Lembong dan Hasto Kristianto)

Oleh: Laksamana Sukardi

Masyarakat heboh ketika Presiden Prabowo memberikan Abolisi kepada Tom Lembong dan Amnesti kepada Hasto Kristianto.

Heboh, karena keduanya merupakan kasus ‘high profile’ yang dianggap sebagai kasus politik bercampur korupsi atau kasus korupsi bercampur politik.

Ada baiknya kita memahami kenapa banyak pemimpin negara diberikan wewenang oleh konstitusi untuk memberi abolisi, amnesti dan grasi.

Pemberian kekuasaan tersebut berasal dari beberapa filsuf terkenal, diantaranya; Aristoteles, Cicero dan Jean-Jacques Rousseau yang memiliki pemikiran klasik bahwa “kekuasaan presiden mencerminkan sisi kemanusiaan daripada keadilan—bahwa pengampunan kadang lebih adil daripada hukuman.”

Dalam banyak kasus, amnesti dan abolisi (abolitio) digunakan bukan semata untuk mengampuni individu, tetapi untuk menyembuhkan luka kolektif masyarakat—biasanya diberikan setelah perang saudara, kediktatoran, atau gejolak sosial.

Baca Juga  Sejarah Bluetooth dan Ujaran SARA.

Abolisi untuk Tom Lembong mungkin saja untuk meredam potensi kekecewaan yang mengancam kredibilitas penegak-kan hukum dan stabilitas politik nasional, sedangkan amnesti untuk Hasto Kristianto adalah sebuah subyektivitas presiden yang membutuhkan perdamaian politik dan stabilitas pemerintahannya.

Kekuasaan tersebut memang diberikan kepada presiden sebagai sebuah simbol pemegang kedaulatan (sovereignty) dengan pengertian penuh bahwa dapat dijalankan secara subyektif (tidak perlu obyektif).

Subyektivitas tersebut tidak dapat dipertentangkan, karena diamanatkan oleh konstitusi walaupun memiliki risiko benturan kepentingan. Di Amerika Presiden Biden memberikan abolisi (pardon) kepada anaknya, Presiden Trump memberikannya kepada besannya dan para pendukungnya yang dihukum karena merangsek gedung kongres.

Baca Juga  DI BALIK REFORMASI 1998: Sumber Permainan Api

Dalam kasus Tom Lembong dan Hasto Kristianto para penegak hukum Kejaksaan Agung, KPK dan Mahkamah Agung, yang selama ini dianggap sebagai malaikat dan memiliki kekuasaan tinggi yang juga kadang kadang bersifat “subyektif”, harus menerima kenyataan konstitusional bahwa diatas langit masih ada langit.

Para penegak hukum tidak boleh kecewa, namun wajib meningkatkan profesionalisme dan tetap melakukan proses hukum secara independen, karena dengan adanya tokoh politik yang mendapatkan abolisi atau amnesti tidak berarti para politisi lainnya ikut menjadi kebal hukum.

Baca Juga  Kami Mengacu Kepada Para Wali, Bukan ke Arab Saudi

Perlu juga diingatkan bahwa beberapa filsuf hukum—khususnya Hans Kelsen dan H.L.A. Hart—memperingatkan adanya bahaya subjektivitas dan ketimpangan dalam penggunaan abolisi atau amnesti. Muncul pertanyaan filosofis “Bisakah keadilan bersifat selektif?

Keputusan hukum didunia sering kali bersifat subyektif oleh karena itu walaupun ‘raja’ seolah-olah berada di bawah ‘mandat surga’ selalu ada otoritas atau nilai moral yang lebih tinggi sehingga diatas langit masih ada langit.
Hanya Tuhan yang merupakan hakim yang adil.

Share :

Baca Juga

Esai

Parfi Pasca Aa Gatot Brajamusti, dari Andryega Da Silva hingga Firdaus Oibowo
Laksamana

Berita

DI BALIK REFORMASI 1998: Detak Detik Sumbu Bom Waktu (II):

Berita

Pak Mahfud, Bersiaplah!
Kartikatur

Esai

Dokter yang Paling Terkenal
Subang

Esai

Kawal Kasus Jalan Cagak Subang, Sejarah Akan Berulang?
KOMIK WAGIMAN

Berita

Wawancanda Wagiman Deep: Program Mengatasi Banjir itu Sabar dan Berdoa. Cangkemkan!

Esai

Orang Film
Cerita Humor

Esai

Menyebabkan Mabok