RENDRA. “Ma, nyamperin matahari dari satu sisi.
Memandang wajahmu dari segenap jurusan.”
Demikian Rendra membuka Pamplet Cinta, yang ditulisnya di Pejambon, Jakarta, 28 April 1978. Pamplet yang membuat saya, perlahan-lahan, belajar memahami bahwa memandang manusia hendaknya dari pelbagai sisi. Bahwa suatu fakta bukanlah matahari, yang hanya terang dan cahaya, melainkan gumpalan realita yang butuh ketekunan untuk menelisik dan memahaminya. Dengan demikian saya menjadi terlatih untuk menunda ketergesaan mengambil kesimpulan.
Rendra, bagi saya, mengajari untuk lebih teliti, lebih sareh, lebih dingin sebelum mengambil suatu kesimpulan. Seperti kata pepatah, “Jangan membanting pintu terlalu keras, karena siapa tahu suatu saat kita akan mengetuknya lagi.”
Sejak diserang stroke, Rendra kembali menyelinap di ingatanku. Ketika menghadapi istri, yang berubah jadi sipir, “Jangan merokok. Tidak usah ngopi. Harus mandi, karena keringatmu bau obat. Makan buah sebanyak-banyaknya. Nggak usah mikir macem-macem. Jangan rumit!” kata istri hampir setiap hari.
Dan saya kembali teringat Rendra. Pada kepingan sajaknya yang saya suka:
Kekasihku.
Gugur, ya, gugur
semua gugur
hidup, asmara, embun di bunga
yang kita ambil cuma yang berguna.
Ah, Mas Willy…**
Harry Tjahjono
24.11.2023