Budayawan Mohamad Sobary bersama sastrawan dan sosiolog Okki Madasari, Jum’at (2/2/2024) membacakan pidato kebudayaan di Balai Budaya Jakarta. Acara juga diramaikan dengan orasi dan permainan klarinet oleh seniman yang juga dikenal sebagai aktor, Sujiwo Tejo. Penyair Amien Kamil juga tampil membacakan tiga buah puisi. Hadir dalam acara ini, seniman Butet Kartaradjasa, dari Yogyakarta.
Okki Madasari merupakan seorang sosiolog dan sastrawan yang videonya ketika tampil di UGM Yogyakarta, sempat viral, karena isinya yang mengkritik gaya kepemimpinan Presiden Jokowi.
Dalam Pidato Kebudayaan yang disampaikan Jumat malam kemarin, Okki juga menyinggung tentang kondisi politik saat ini. Di bawah ini adalah penggalan Pidato Kebudayaan yang dibacakan Okki.
Jaman reformasi tak sepenuhnya menjamin demokrasi. Munir dibunuh di atas pesawat milik negara. Hingga kini tak terbongkar siapa dalang di baliknya.
Di jaman ini pula ada pemuda yg diburu polisi hanya karena menggambar wajah presiden Jokowi. Memang bukan wajah biasa, tapi ada tulisan 404. Artinya apa yang anda cari tidak ditemukan. Tapi apa yg salah dengan itu? Katanya menghina simbol negara. Yang mana simbol negaranya?
Di Tangerang ada pemuda didatangi polisi karena menulis, “Tuhan aku lapar..” . Sejak kapan rakyat tak boleh sambat? Apalagi ini bukan sambat ke pejabat, tapi sambat ke Tuhan. Ada yang takut meme tapi tak takut kerjanya memble. Ada yang takut mural, tapi tak takut korupsi bantuan sosial. Ada yang takut kritik, tapi tak takut rakyat menjerit dan tercekik.
Kekuasaan bekerja untuk menciptakan hantu-hantu, mitos-mitos, yang akhirnya diinternalisasi dalam diri setiap orang. Difabrikasi sehingga akhirnya rakyat tunduk dan situasi terkendali.
Raja-raja Nusantara membuat mitos bahwa mereka titisan Dewa, penjaga buana. Penjajah membuat mitos bahwa pribumi malas, agar rakyat bisa dipaksa bekerja di tanahnya sendiri. Pak Harto tidak bisa bertahan selama 32 tahun tanpa ada hantu-hantu marxisme, komunisme, dan mitos Bapak Pembangunan.
Kini di era Jokowi — sebagaimana video saya menjadi viral, akhirnya saya diundang ke sini bersama para budayawan — mitos Jokowi sebagai pemimpin baik; mitos semua orang mendapat kesempatan yang sama; mitos pemimpin muda, mitos pemimpin gemoy, dan mitos presiden netral.
Produksi propaganda mitos, tak bisa dihasilkan oleh todongan senjata dan kekerasan. Sesuatu hanya bisa dipercaya jika dia menyusup pelan, membuai, menghibur, disebarkan secara masif, dan disemati.
Fabrikasi mitos tidak akan berhasil jika hanya dilakukan penguasa. Propaganda dan mitos hanya bisa bekerja jika diproduksi bersama dengan tokoh intelektual, seniman, sastrawan, pembuat film, media massa, dan sekarang ada selebriti media sosial: influencer.
“Kita-kita yang ada di sini, adalah bagian penting dari fabrikasi mitos, propaganda, dan produksi pengetahuan!”
Pada setiap periode kekuasaan, pengkhianatan terhadap hati nurani, selalu dilakukan oleh kaum intelektual. Atas nama pengaruh yang lebih besar; atas nama jabatan atau bayaran uang. Mereka bukan hanya tunduk menyerahkan diri pada kekuasaan, namun juga menjadi bagian penting yang memproduksi propaganda dan mitos-mitos.
“Di era ini saya menyebut intelektual seperti ini adalah intelektual martabak! Intelektual martabak adalah intelektual yang telah kehilangan martabat. Bekerja hanya untuk mencicipi potongan martabak! Apalagi martabaknya milik anak-anak Pak Lurah, yang berkat jualan martabak bisa jadi Ketua Partai dan bahkan bisa jadi Calon Wakil Presiden!”
Memang inilah eranya martabak politik. Hasrat untuk mempertahankan kekuasaan, dipamerkan tanpa martabat. Jabatan dianggap sebagai warisan yang harus dikangkangi, diamankan, dipastikan jatuh ke anak, menantu, keponakan, dan para ipar.
Maka sekarang kira lihat, muncul secara tiba-tiba pemuda tanpa kompetensi, integritas dan imajinasi, ke dalam gelanggang politik untuk sekedar merebut jabatan. Lalu para politisi nirmartabat akan berteriak, “Ini bukan dinasti! Ini adalah demokrasi!”.
Politik jauh dari tujuan luhurnya, martabat politik telah digantikan oleh martabak politik. Sebagaimana martabak, politik hanya menjadi sajian yang dinikmati oleh kawanan. Martabak politik menempatkan kekenyangan kawanan sebagai tujuan utama.
Dalam martabak politik, kebijakan pemimpin hanya memberikan variasi rasa kekinian tanpa substansi, tanpa menyentuh substansi. Apalagi perubahan struktural. Martabak politik tidak butuh kompetensi dan visi, karena yang dihitung adalah untung / rugi.
Ketika martabak politik tidak menjadi ideologi, pada mereka yang tidak berada di meja perayaanlah, harapan bisa dititipkan. Pemuda-pemuda yang tidak terlahir dari para pejabat dan politisi, yang terasa perduli dan mengabdi untuk orang-orang di keluarga sendiri.
Ketika martabak politik telah jadi ideologi, setiap suara kita dalam Pemilu, kian berarti. Hanya suara kita yang bisa membalik martabak, agar politik kembali punya martabat.