DeFACTO.id – Flash mob yang ditampilkan remaja Desa Gunungsari begitu rancak, membuat tepuk tangan yang berkunjung ke Pasar Wisata Budaya Pundensari. Apalagi diiringi gamelan yang rancak dan dinamis membuat suasana mendung pagi hari, Minggu 14/11 kemarin menjadi hangat.
Begitulah suasana pasar wisata yang diracik Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Gunungsari, Kecamatan/Kabupaten Madiun setiap Minggu pagi.
Pasar budaya? Betul. Karena bukan selayaknya pasar yang hanya sebagai tempat jual beli. Namun juga sekaligus nguri-nguri seni budaya daerah. Setiap hari Minggu, selalu berganti-ganti seni budaya yang ditampilkan. Dari Dungkrek, Cokekan, sampai permainan tempo doeloe. Seperti lomba teklek.
’’Kami ingin menghidupkan dolanan anak-anak tempo doeloe di sini,’’ begitu ungkap Bernardi S Dangin, selaku ketua Pokdarwis.
Karena itulah destinasi wisata desa itu mampu bertahan 2 tahun 7 bulan, nyaris menembus tahun ketiga. Tentu dibutuhkan kreator-kreator yang membuat pasar wisata ini bisa bertahan, dengan kunjungan wisatawan lokal yang stabil. Pun juga promosinya yang gencar.
Nuansa etnik mulai terasa begitu kita memasuki gerbang pasar. Semua bangunan lapak serba bambu. Termasuk alat tukar yang terbuatdari bambu juga. Semua petugas, termauk penjual menggunakan pakaian lurik atau batik.
Kini bekerjasama dengan Unipma, telah diluncurkan website, sebagai sarana promosi. Termasuk melalui sosial media. Bahkan beberapa media lokal, regional dan nasional pun banyak yang melakukan peliputan.
Indikator stabilnya jumlah kunjungan dapat dilihat dari perputaran uang secara keseluruhan pedagang setiap hari Minggu mencapai angka di kisaran Rp 10 juta sampai Rp 15 juta. Padahal hanya dengan 20 pedagang.
Estimasi hitungannya kalau per orang menghabiskan Rp. 10.000 untuk makan dan minum, maka ada 1000 pengunjung per minggu. Padahal hanya buka mulai jam 06.00 sampai jam 11.00. bilai belanja Rp 10.000 per orang dilihat dari menu dan harga makanan yang rata-rata Rp.5.000. bahkan martabak mini seharga Rp 2.000 dapat tiga biji.
Perputaran uang itu bisa diketahui secara pasti. Karena pihak pengelola menggunakan sistem pembayaran terbuat dari iratan bambu. Istilahnya uang bambu.
Uang bambu itu selain unik, juga dikandung maksud penggambaran alat tukar tempo doeloe, tapi juga untuk membius kaum ibu tak sayang membelanjakan uangnya di pasar yang khusus menjual kuliner itu.
‘’Kaum ibu kalau belanja menggunakan uang rupiah, kan mesti menghitung-hitung dulu isi dompetnya. Tapi kalau pakai alat penukar dari bambu kan tidak berasa, dan uang yang ditukar itu pasti dihabiskan,’’ kata Bernardi.
Tiga Pohon Langka
Nama Pundensari digunakan lantaran pasar itu berada di areal punden desa. Kalau di desa lain, yang dinamakan punden biasanya makam yang dikeramatkan. Di desa ini jutsru berupa 3 pohon yang bisa dikatakan mulai langka. Yakni pohon Jenu, Kemiri dan Tanjung.
Mau berkunjung? Lokasi Pasar Pundensari hanya berjarak sekitar 6 km dari Kota Madiun. Melalui jalan provinsi jurusan Surabaya.
Pengunjung dapat menikmati kuliner tradisional yang dijajakan di Pasar Pundensari. Ada Sego Brokohan yang tidak setiap hari bisa kita dapati. Brokohan merupakan upacara tradisi Jawa saat kelahiran bayi.
Termasuk jajanan tradisional seperti klepon, pak gapit, gempol dan sebagainya. Pun juga minuman seperti Wedang Uwuh, Wedang Jahe, sampai Dawet lengkap ada di situ.
Istimewanya, di pasar ini menabukan pemakaian plastik sekali pakai. Jadi semua makanan menggunakan kemasan daun pisang atau daun Jati. Demikian pula minumannya, menggunakan paper cup dengan standar food grade. Selain juga juga mnggunakan gelas.* Santoso