PRABOWO DIGANJAR SEJARAH. Dalam survei, elektabilitas Prabowo dan Ganjar Pranowo saling menyalip. Menurut survei, mereka berdua adalah kandidat Capres yang kuat, sementara Anies mengekor di buntut. Komunikasi Prabowo juga membaik. Kesediaannya menjadi menteri dan melekatkan dirinya dengan foto Presiden Jokowi serta Gribran, menampilkan sosoknya sebagai negarawan.
Sayangnya, Prabowo telah diganjar sejarah Orde Baru–sebuah era yang membuat jutaan orang diremehkan lebih rendah dari muka tanah. Sebuah orde yang selama puluhan tahun sukses memaksa keturunan PKI dan keluarga “gangster” berikut kelompoknya menutup diri dalam diam. Karena ketakutan diwujudkan secara nyata: orang disembelih dan dipistol penembak misterius (petrus).
Tahun 1983, saya diajak teman, keponakan jenderal polisi dan ketua ormas, berkumpul di Bendungan Hilir Jakarta dengan sejumlah tokoh preman, antara lain Edy Menpor, Agus TGW (Prems/Jakarta), Gianto ( Massa 33/Jawa Timur) dan sejumlah nama beken di dunia hitam. Kurang dari sebulan kemudian, mereka yang berkumpul di Bendungan Hilir itu tewas oleh Petrus.
Kebengisan Petrus, bisa kita dengar dari Mas Bathi Mulyono, Ketua Fajar Menyingsing (Semarang/Jawa Tengah), yang berhasil lolos dan hidup di persembunyian sampai di Gunung Lawu. Usia Mas Bathi sekarang 76 tahun. Sepuh, tapi masih terus berjuang ke Komnas HAM, menyurati Presiden, jenderal dan menterinya. Saya hormat dan takjub pada nyali dan ketegaran Mas Bathi.
Prabowo bukan Petrus dan tidak terlibat Petrus. Tapi, menjelang akhir Orba, Tim Mawar dibentuk untuk menangkapi–bahkan disebut menculik–sejumlah aktivis. Itu membuatnya diganjar sejarah, dianggap mata rantai kekerasan yang pernah dilakukan Orba.
Prabowo sudah mengoreksi kekeliruannya. Aktivis yang dibebaskan, diterima menjadi anggota partainya. Bahkan menurut Budiman Sudjatmiko yang kini bergabung mendukungnya, Prabowo sudah minta maaf secara personal. Bagus, dan layak diapresiasi serta patut dipujikan. Tapi, ganjaran sejarah seringkali membuat permintaan maaf personal sekadar debu. Apalagi mengingat Bung Karno, pada 17 Agustus 1966, menyerukan semboyan “JASMERAH”, akronim dari “jangan sekali-kali melupakan sejarah.”**
Harry Tjahjono
8/9/2023