DeFacto.id- Olimpiade 1936 di Berlin, Jerman, mencatatkan sejarah baru, yakni penggunaan kamera televisi untuk pertama kali dalam meliput pertandingan di lapangan.
Adolf Hitler sebagai Kanselir Jerman ketika itu melihat peluang bagus dengan ditunjuknya Berlin sebagai tuan rumah Olimpiade ke-11. Ia ingin menggunakan hajatan pertandingan olah raga internasional itu sebagai panggung untuk memperkenalkan paham Nazisme kepada dunia.
Nazisme merupakan sebuah ideologi totalitarian. Semua warga Jerman harus setia dan tunduk kepada aturan Partai Nazi (Partai Pekerja Nasional-Sosialis) dan menggadang-gadang Aria sebagai ras yang paling unggul di dunia.
Untuk hajatan besar ini Jerman sampai membangun stadion baru berkapasitas 100.000 tempat duduk dan mempersiapkan kamera-kamera televisi di seputar stadion guna meliput semua sudut pertandingan.
Kamera mirip kanon
Teknologi televisi masih baru saat itu. Ukuran kameranya juga masih besar dan berat, maka kerap dijuluki kanon karena besarnya memang mirip kanon meriam.
Jawatan Kantor Pos Jerman, yang memegang kendali peliputan, menggunakan peralatan dari Telefunken, perusahaan radio dan televisi Jerman yang didirikan di Berlin pada 1903. Siaran dilakukan dari arena kemudian dibawa masuk (masih memakai kabel) ke studio televisi pertama di dunia yang dibuat oleh Paul Nipkow, seorang teknisi dan penemu teknologi televisi.
Studio itu memiliki menara pemancar. Dari pemancar inilah semua liputan kemudian disebarluaskan ke 28 ruang yang sengaja dibangun di Berlin dan Postdam.
Nah, dalam ruang-ruang itu tersedia layar besar berukuran 3 x 2,5 meter persegi. Warga setiap hari bisa menonton bareng (nobar) selama Olimpiade berlangsung pada 1-16 Agustus 1936.
Jadi, kapasitas stadion yang bisa menampung 100 ribu penonton masih ketambahan 150.000 orang lagi yang nobar dari 28 ruang tadi. Total 250.000 penonton per 8hari, jumlah yang lumayan besar.
Beberapa rekaman liputan kemudian dikopi dan dibawa ke luar negeri sehingga ada yang memperkirakan Olimpiade Berlin, berkat liputan televisinya, bisa menjangkau kira-kira 300 juta penonton di seluruh dunia.
Jumlah jangkauan penonton tadi mestinya bisa lebih besar lagi seandainya televisi tabung waktu itu sudah ditemukan dan telah masuk ke dalam tiap rumah tangga. Apa boleh buat, teknologinya waktu itu baru sebatas untuk nobar saja.
Berhasilkah Hitler “memasarkan” kehendaknya?
Bau rasis
Dengan semua persiapan baik tadi, berhasilkah Hitler “memasarkan” ideologinya ke seluruh dunia?
Olimpiade yang di usung Jerman saat itu memang pekat dengan bau rasis. Hitler sendiri antisemit begitu juga kebijakan Nazi-Jerman. Berlin, yang dipoles sedemikian cantik, dan event olah raga megah dengan pelayanan terbaik nan mewah untuk ukuran saat itu, tetap tidak bisa menutupi borok yang sebenarnya terjadi di dalam negeri Jerman. Seluruh dunia tahu.
Mahasiswa dan tokoh pro-demokrasi yang vokal ditangkapi. Mereka dipenjara tanpa melalui sidang pengadilan. Begitu juga kaum gipsi, mereka yang dicap komunis, yahudi, lawan politik, dan organisator serikat buruh digiring masuk ke kamp konsentrasi yang memang telah mulai dibangun Maret 1933.
Alih-alih mata dunia melihat kehebatan ras Aria, perhatian penonton justru terpukau pada sosok Jesse Owens, seorang atlet Amerika Serikat berkulit hitam yang berhasil menyabet empat emas untuk cabang atletik (lari 100 m, 200 m, dan estafet 4×100 m, serta lompat jauh).
Sendirian, Jesse Owens, yang berkulit legam dan begitu diremehkan orang Jerman, ternyata berhasil memporak-porandakan mimpi Hitler yang begitu mengagungkan ras Aria. Kehadirannya seperti meledek kepongahan Nazi-Jerman bahwa ras Aria ternyata bisa dikalahkan oleh pemuda lugu dari kota kecil bernama Oakville, Alabama sana. (gun)