Home / Esai

Minggu, 19 Juni 2022 - 15:11 WIB

Nyawa Melayang Lagi Di Sepakbola Indonesia

Si Indonesia nyawa manusia seolah sangat murah. Tiap hari kita mendengar kabar kematian, bukan saja dari Burung Kedasih, berita di radio, televisi, suratkabar, media online, media sosial, atau bahkan dari tetangga.

Fenomena itu sangat ironis, mengingat Indonesia adalah negara yang memiliki dasar Pancasila dengan sila-silanya yang luar biasa. Walau cuma tercatat di KTP, dipastikan semua orang Indonesia beragama atau percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi setiap hari kita mendengar terjadi kematian di mana-mana 

Dua hari belakangan ini, di tengah eforia masyarakat atas lolosnya Timnas Indonesia ke Piala Asia 2023, kita mendengar lagi kabar buruk dalam dunia sepakbola Indonesia, yakni meninggalnya dua bobotoh tim sepakbola kebanggaan masyarakat Jawa Barat, Persib, Sopiana Yusup dan Ahmad Solihin. Keduanya meregang nyawa  di Stadion Gelora Bandung Lautab Api Kota Bandung,
pada Jumat 17 Juni 2022, saat menyaksikan pertandingan antara Persib vs Persebaya. Keduanya terinjak-injak oleh ribuan suporter lain yang berebut masuk ke stadion.

Dalam keadaan chaos seperti itu, siapa peduli jika ada orang yang jatuh dan terinjak-injak. Korban pun pasti tak mampu melindungi diri dari injakan ribuan pasang kaki yang menerjang bak pasukan berkuda.

Setelah kejadian itu bisa dimaklumi kalau kemudian timbul pertanyaan-pertanyaan seperti: “Mengapa bisa terjadi?”; “Pengamanan seperti apa?”, “Bagaimana panitia mengantur penonton yang akan masuk ke stadion?”, dan lain sebagainya.

Baca Juga  Kampanye Stroke

Menurut tulisan seorang suporter yang berada di tempat kejadian saat itu, sebelum rombongan suporter yang berebut masuk stadion — termasuk Sopiana Yusuf dan Ahmad Solihin di dalamnya — di dalam stadion sudah banyak penonton yang masuk tanpa tiket.
Aparat keamanan belum datang. Penonton tak bertiket masuk sejak pukul. 07.00 – 08.00 dengan memanjat ring 2 dan 3.

Karena sudah banyak penonton masuk, maka penonton bertiket yang sudah antri justru tidak diijinkan masuk oleh penjaga pintu. Setelah berdebat dan mereka dapat menunjukkan tiket resmi, akhirnya petugas membuka pintu. Di saat itulah mereka berebut masuk. Nahas, Sopiana Yusuf dan Ahmad Solihin jatuh, lalu terinjak-injak.

Kebiasaan buruk masyarakat di Indonesia yang selalu tidak sabar dalam mengantri, memang memungkinkan hal itu terjadi. Jangankan dalam pertandingan sepakbola yang dihadiri puluhan ribu manusia, ketika antri sumbangan dari dermawan saja pernah terjadi korban jiwa karena masyarakat berebut.

“Ahmad Solihin dan Sopiana Yusup adalah korban tewas ke 77 dan 78 dalam dunia sepakbola Indonesia. Kami punya catatan sebelumnya sudah ada suporter yang mati, baik karena perkelahian antarsuporter, kecelakaan di jalan, ditembak aparat dan lain sebagainya. Kalau hari ini terjadi lagi, berarti kita tak pernah belajar dari kejadian-kejadian di masa lalu,” kata Pengamat Sepakbola Akmal Marhali dalam podcast Cocomeochannel.

Baca Juga  Suara Hati Ganjar

Kematian dalam pertandingan sepakbola sebenarnya bukan baru kali ini terjadi, atau hanya terjadi di Indonesia. Penonton final Piala Champion antara klub Inggris Liverpool melawan Juventus di Stadion Heysel di Brussel, Belgia pada 29 Mei tahun 1985, adalah sebuah horor mengerikan dalam dunia sepakbola. Kebetulan pertandingan itu juga disiarkan langsung oleh TVRI.

Peristiwa ini bermula dari fans masing-masing klub yang saling mengejek dan melecehkan. Lalu tiba-tiba sekitar satu jam sebelum kick off kelompok hooligan Liverpool menerobos pembatas masuk ke wilayah tifosi Juventus. Tidak terjadi perlawanan karena yang berada di bagian tersebut bukanlah kelompok Ultras. Pendukung Juventus pun berusaha menjauh namun kemudian sebuah tragedi terjadi. Dinding pembatas di sektor tersebut roboh karena tidak kuasa menahan beban dari orang-orang yang terus beruhasa merangsek dan melompati pagar. Ratusan orang tertimpa dinding yang berjatuhan. Akibat peristiwa ini sebanyak 39 orang meninggal dunia dan 600 lebih lainnya luka-luka.

Setelah kejadian itu tim-tim Inggris dilarang untuk tampil dalam pertandingan internasional selama 5 tahun.

Yang kedua adalah Tragedi Hillsborough,  tanggal 15 April 1989 di Sheffield, Inggris. Pada saat itu berlangsung pertandingan perempat final Piala FA antara Sheffield melawan Liverpool. Tragedi terjadi karena  penonton berjejalan. Peristiwa tersebut mengakibatkan 96 orang meninggal dunia yang semuanya adalah pendukung Liverpool F.C.).

Baca Juga  Empat Wartawan Penjelajah Bermotor Merapat di Toli Toli

“Setelah kejadian itu, pemerintah Inggris membuat aturan agar setiap klub sepakbolah di Inggris melakukan pembenahan stadion, pembatasan penonton hingga larangan minum alkohol pun menjadi syarat untuk menonton sepak bola di Inggris. Setiap kursi ada nomornya, dan setiap tiket yang dibeli penonton ada nomor kursinya. Dengan begitu penonton yang masuk bisa dikontrol,” kata Yoseph Cocomeo Erwiyantoro, partner Akmal dalam Cocomeochannel.

“Di sini kejadian demi kejadian terus terjadi. Tapi apa langkah yang dilakukan PSSI untuk mencegahnya? Gak ada! Kematian suporter hanya soal angka. Mungkin akan ada lagi angka 90, 91, 100 dan seterusnya. Kalau pengelolaan sepakbola seperti sekarang, bukan tidak mungkin kejadian yang merenggut nyawa suporter akan terjadi lagi. Sepakbola yang seharusnya jadi hiburan, malah jadi kuburan,” tambahnya.

Terkait kejadian di GBLA Bandung, Indonesia Police Watch sudah meminta agar pihak kepolisian mencari dan memeriksa pihak yang bertanggungjawab.

“Memang harus ada yang bertanggungjawab dalam peristiwa ini. Tidak boleh ada yang lepas tangan, dan menganggap kematian dalam sepakbola adalah suatu yang biasa,” timpal Akmal Marhali. MB

Share :

Baca Juga

Esai

Presiden vs Panjahat

Berita

Daya Kata Wirid Visual

Esai

Ransom Ware, siapa berani lawan?

Esai

Fiat Justitia et Pereat Mundus

Esai

Menebak Arah dan Dampak Dukungan PKS untuk Ganjar Pranowo

Berita

Sandera Gibran

Esai

Ketika “Citayam Fashion Week” Bukan Lagi Milik Anak Citayam!

Esai

Bercermin pada Garuda Muda