Home / Esai

Minggu, 23 Maret 2025 - 11:15 WIB

Menghidupkan Gagasan Betawipolitan

BETAWIPOLITAN. Ketika Pramono Anung dan H. Rano Karno terpilih memimpin Jakarta, saya ikut senang dan, terutama, ide perihal kebudayaan “Betawipolitan” yang dulu kami perbincangkan, kembali “hidup”. Kebudayaan *Betawipolitan” yang tidak sekadar seni budaya Betawi, tapi juga akumulasi ragam budaya lain yang memadati Jakarta dan ikut membentuk kebudayaan nasional. Waktu itu, 1980, budaya Betawi (dan “pribuminya”) dapat dikatakan sudah lama terpinggirkan.

Saya kenal cukup dekat Rano Bang Doel sejak 1978, saat ia dan Yessy Gusman membintangi film Selamat Tinggal Duka, novel perdana saya yang difilmkan dan disutradarai Om Soekarno M Noor, skenario Syumandjaya. Kami masih muda dan segera akrab. Waktu itu, Bang Rano sudah “terobsesi” sosok Si Doel. Sejak kecil, 1973, ia sudah membintangi film Si Doel Anak Betawi bersama Benyamin S. Film yang diangkat dari novel Si Doel Anak Betawi karya Aman Datuk Madjoindo terbitan Balai Pustaka, 1932. Novel tentang kehidupan anak Betawi, Doel (ejaan lama) di Jakarta. Bang Rano memberikan novel itu pada saya, dan sejak 1980 itu kami sering membahas budaya Betawi yang terpinggirkan, dan ide-ide Bang Rano di antaranya saya tulis jadi cerpen atas nama dua penulis: Rano Karno – Harry Tjahjono. Itu jauh sebelum Bang Rano memproduksi serial Si Doel Anak Sekolahan (SDAS), 1994, di RCTI.

Baca Juga  Pemerintah yang Dengki Terhadap Rakyatnya

Saya menulis skenario SDAS tahun 1995, setelah Ida Farida menulis 6 episode SDAS pertama. Waktu itu, saya mengelola tabloid Bintang Indonesia dan Fantasi milik Ciputra. Saya menulis SDAS II, III dan IV, sekitar 75 episode. Kami jadi lebih intens mendiskusikan ide, cerita, obsesi dan lainnya, sehingga saya lebih memahami “idealisme dan karakter” Rano Karno. SDAS diproduksi di era Orde Baru, sehingga kami harus sangat hati-hati dalam mengemas kritik dan satirenya lewat metafora, dialog dan adegan yang “limited” agar “selamat”.

Baca Juga  Bijak

Saya refleksikan kembali masa lalu itu karena meyakini bahwa mimpi, obsesi, dan idealisme ihwal kebudayaan “Betawipolitan”, terutama empati dan keberpihakan Bang Doel pada rakyat yang terpinggirkan, tetap menjadi karakter Bang Doel. Saya pikir, rakyat butuh pemimpin yang berkarakter. (Harry Tjahjono)

Share :

Baca Juga

Esai

Negara Asyik yang Terasa Asin
Karikatur

Esai

Engkau Pasti Tahu Aku Tak Punya Uang
Akung Bondet

Esai

Pembunuhan Karakter di Serpihan Konflik Jawa Pos Surabaya

Esai

PT KAI Line di Stasiun Bogor

Esai

Negeri Komeng!

Esai

Menunggu Langkah Mematikan KPMP Dalam Kasus PEN Subsektor Film

Esai

Melaporkan SBY
wagiman deep

Berita

Wawancanda Wagiman Deep: Survei Capres yang Membagongkan