Ada satu orang yang paling berpengaruh dan berkesan yang pernah ditemui oleh Bung Karno,
dia adalah seorang petani miskin di daerah Selatan Bandung yang Bernama Marhaen.
Marhaen merupakan sumber inspirasi bagi Bung Karno.

“Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia yang bernasib malang
seperti dia! Semenjak itu kunamakan rakyatku Marhaen.” Ujar Bung Karno.
Makna dari inspirasi Bung Karno yang saya terjemahkan adalah bahwa hasil pembangunan harus diukur dari berapa besar kemajuan yang dialami oleh rakyat yang paling miskin!
Bukan hanya Pendapatan per Kapita atau pertumbuhan ekonomi yang dijadikan tolok ukur oleh para ekonom, yang tidak menyentuh para Marhaen. Bahkan pedoman yang dipakai tersebut tidak
mencerminkan kenyataan jika yang miskin tambah miskin dan yang kaya semakin kaya.
Marhaen dikenalkan oleh Bung Karno, dan Marhaen lahir pada zaman Bung Karno pada zaman ketika kita baru merdeka.
Walaupun Marhaen dan Bung Karno telah tiada, tetapi nawa itu dan elan perjuangan Bung Karno yang terinspirasi oleh Marhaen tidak boleh kita lupakan!
Apakah masih ada elan perjuangan dan tekad untuk mensejahterakan kaum Marhaen?
Indonesia telah melahirkan tiga generasi pemimpin setelah Bung Karno. Apakah ada cucu
Marhaen yang telah mampu melintasi jalan toll dan jembatan dengan mengendarai mobilnya
sendiri atau melancong dengan menikmati Bandar Udara yang mewah? Apakah kaum Marhaen hanya mendengarkan deru dan debu mobil dari habitatnya di kolong jembatan?
Bangsa Indonesia pernah kecewa dengan Orde Baru yang melahirkan para kroni penguasa menjadi konglomerat dengan bantuan monopoli dan subsidi kredit serta fasilitas fasilitas
khusus. Pada waktu itu kaum Marhaen praktis dilupakan!
Kekecewaan tersebut melahirkan gerakan reformasi yang seharusnya mengingatkan kita pada elan perjuangan Marhaen yang terlupakan.
Kalau zaman Bung Karno melahirkan nama Marhaen, reformasi melahirkan Sambo (Perjudian, perdagangan Narkoba dan pertambangan liar), dilengkapi dengan kasus korupsi puluhan trilyun BUMN Jiwasraya (Rp 25 trilyun), Asabri (Rp20 Trilyun), Koperasi Indo Surya (20 trilyun) padahal reformasi telah menciptakan Komisi Pemberantasan Korupsi, Otoritas Jasa Keuangan dan komisi komisi di DPR yang mengawasinya.
Bahkan Dana Bantuan Sosial untuk kaum Marhaen pun dipalak disiang bolong tanpa malu malu.
Fakta tersebut dapat dikatakan bahwa Reformasi telah digadaikan. Sementara itu banyak Partai Politik yang melahirkan generasi elit yang hedonis dan kaya raya.
Para politisi tersebut bersama konglomerat (yang dilahirkan orde baru) berkoalisi menjadi oligarki yang mendikte dan mengontrol para pemimpin bangsa.
Segala sesuatunya diukur oleh uang dan uang. Untuk menjadi Calon Anggota Legislatif, Bupati,
Wali Kota, Gubernur, dan Pejabat Tinggi Negara semua harus dengan uang.
Uang sudah berubah dari alat pembayaran jasa dan produksi dalam ekonomi, menjadi alat
transaksi politik. Semakin besar transaksi politik uang maka akan semakin besar produksi
domestic bruto (PDB) yang dicatat oleh para ekonom sebagai kemajuan ekonomi!
Semakin besar kemajuan ekonomi dari kegiatan yang tidak produktif seperti ini akan semakin
menghilangkan daya saing Indonesia.
Oleh karena itu sangat ironis jika tiga generasi pemimpin setelah Bung Karno, alih alih ingat
terhadap elan perjuangan Marhaen, justru melahirkan naman-nama oligarki dan Sambo pada zaman paska reformasi.
Oligarki dan Sambo merupakan simbol perjuangan yang mendewakan atau menyembah uang sebagai berhala sedangkan Marhaen merupakan simbol perjuangan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Hanya dalam waktu singkat, yaitu tiga generasi pemimpin bangsa Indonesia Marhaen telah
menjelma menjadi Sambo dan Oligarki. Ibarat siang menjadi malam tanpa senja.
Oleh : Laksamana Sukardi