Home / Olahraga & Hiburan

Rabu, 10 November 2021 - 11:00 WIB

FFI Hajat Insan Film yang Tak Bisa Lepas dari Peran Pemerintah

deFACTO – Rabu (10/11/2021) malam ini di Jakarta Convention Centre, insan film Indonesia kembali menggelar hajat tahunan yang disebut Festival Film Indonesia (FFI). Ini adalah penyelenggaraan ke-17 sejak FFI diadakan lagi, setelah mati suri selama 12 tahun (sejak 1992 – 2004).

Meskipun sering disebut sebagai hajatnya insan film, FFI tak bisa lepas dari keterlibatan pemerintah di dalamnya. Sejak tahun 2015 hingga hari ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yang menopang penyelenggaraan FFI melalui anggaran yang dimilikinya. Peran pemerintah, terutama dalam hal pembiayaan, sudah terjadi sejak FFI diadakan pertama kali tahun 1955.

Menteri Penerangan Harmoko (Foto: Herman Wijaya)

Atas inisiatif dua tokoh perfilman masing-masing Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik, terselenggaralah FFI pertama. Acara diadakan di Rumah Dinas Wali Kota Jakarta Raya, Jl. Taman Suropati No. 7, MentengJakarta Pusat. Setelah itu tidak ada lagi festival film. Baru pada tahun 1960  diadakan kembali festival film, di Jakarta, 21-25 Februari, film terbaiknya adalah Turang yang disutradarai Bachtiar Siagian yang juga dinobatkan sebagai sutradara terbaik.

Selesai festival film 1960, tahun berikutnya tak ada lagi festival. Barulah pada bulan Agustus 1967 diadakan Pekan Apresiasi Film Nasional, sebagai nama lain dari FFI ketiga setelah 1955 dan 1960. Pekan Apresiasi Film Nasional 1967 diadakan di Jakarta, 9-16 Agustus, yang tidak ada film terbaik. Sutradara terbaik jatuh pada Misbach Jusa Biran (Dibalik Tjahaja Gemerlapan). Untuk pemeran utama pria ialah Soekarno M. Noor dan pemeran utama wanita yaitu Mieke Wijaya (Gadis Kerudung Putih).

Antara tahun 1970 sampai 1975 terdapat festival terbatas berupa Pemilihan Aktor/Aktris Terbaik yang diselenggarakan oleh PWI Jaya Seksi Film (Kalau tidak salah sekarang diganti namanya menjadi PWI Seksi Film, Musik dan Lifestyle – ?).  Kegiatan ini memang akhirnya tersaingi oleh masyarakat film yang dikelola oleh Yayasan Film Indonesia (YFI), dan mendapat dukungan oleh Departemen Penerangan Republik Indonesia, yang merupakan institusi pembina perfilman nasional.

Baca Juga  Lewat Festival Gemarikan, Menparekraf Sandiaga Uno Berharap Gizi Masyarakat Membaik

PWI Jaya Seksi Film dipaksa untuk menghentikan kegiatan Pemilihan Aktor / Aktris Terbaik, agar pemberian penghargaan kepada insan film secara nasional cukup diberikan melalui penyelenggaraan FFI.

Sejak itu Departemen Penerangan tak mau melepaskan perfilman dari cengkeramannya, termasuk dalam penyelenggaraan FFI. Sebagai konsekwensinya Deppen membiayai seluruh kegiatan FFI.

Tahun 1981 Deppen menggagas lahirnya Dewan Film Nasional. Sejak tahun  1982  penyelenggaraan FFI ini sepenuhnya dikelola oleh Dewan Film Nasional.

Sejak saat itu pula penyelenggaraan FFI berpindah–pindah dari satu kota ke kota lain, diadakan di Medan tahun 1983. Tahun berikutnya di Yogyakarta, di Bandung tahun 1985 dan pada tahun 1986 kegiatan dipusatkan di Jakarta, hanya puncak acara di Denpasar. Penyelenggaraan FFI di daerah dimaksudkan untuk mendekatkan diri antara artis film dengan masyarakat penontonnya.

Tahun 1988 pemerintah membentuk Panitia Tetap (Pantap FFI) yang bekerja selama 5 tahun berturut-turut hingga FFI terakhir tahun 1992 sebelum mati suri, karena kondisi perfilman sedang terpuruk menyusul munculnya tivi swasta di Indonesia. Produksi film layar lebar terhenti.

Guna mengimplementasikan UU No.8 tahun 1992 tentang perfilman, dibentukan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) pada tahun 1994. Kerja badan ini hanya rapat, rapat dan rapat untuk merumuskan arah dan kebijakan perfilman ke depan, tetapi tanpa eksyen yang jelas karena badan ini merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah juga, meski pun isinya mayoritas insan film. Tanpa produksi film BP2N juga tidak bisa berbuat apa-apa.

Baca Juga  Reza, Petugas Kawal Kereta jempol!

Atas inisiatif Ketua BP2N Djonny Syafruddin dan wakilnya Adisurya Abdy, pada tahun 2004 digagaslah penyelenggaraan kembali FFI. Waktu itu produksi film sudah mulai menggeliat. Arisan karya Nia Dianta menjadi Film Terbaik pada FFI 2004 dan Rudy Sudjarwo (Ada Apa Dengan Cinta) menjadi Sutradara Terbaik, Aktor Terbaik Tora Sudiro (Arisan) dan Aktris Terbaik Dian Sastrowardoyo (Ada Apa Dengan Cinta).

Untuk pertama kali FFI disiarkan oleh televisi swasta (RCTI), yang diwarnai keluhan oleh insan film karena tidak semua pemenang FFI muncul dalam tayangan televisi mengingat durasi tayangan televisi yang sangat terbatas. Televisi masih menganggap pemenang unsur lain di luar aktor / aktris dan film terbaik masih sebagai pelengkap yang tidak menarik ditampilkan di televisi.

Sejak reformasi Departemen Penerangan dibubarkan. Tahun 2004 FFI dibiayai oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) hingga tahun 2011, sejak 2012 hingga 2014 diusung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dan sejak 2015 hingga saat ini ditopang oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).

Dalam penyelenggaraan FFI, insan film tidak lebih dari sekedar kreator dan pengisi acara, tetapi seluruh pembiyaan yang berkisar antara 3 – 12 milyar rupiah (bervariasi dari tahun ke tahun) ditanggung oleh pemerintah. Makanya jika ada insan film yang mengatakan pemerintah agar tidak ikut campur terhadap masalah perfilman, itu hanya seperti tong kosong yang ditabuh belaka. Tak ada isi di dalamnya.

Baca Juga  Indonesia Tuan Rumah ASEAN Tourism Forum 2023

Sampai hari ini pun setiap kegiatan perfilman, baik yang berskala kecil seperti diskusi, webinar, atau sekedar pameran poster, sudah pasti ada bantuan dana pemerintah di dalamnya. Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang disebut-sebut sebagai representasi insan film, sejak pembentukan hingga berjalannya hari ini, juga ditopang oleh duit pemerintah. Entah itu yang namanya bantuan, hibah atau apalah.

Mengapa insan film tak bisa mandiri? Bukankah jika hanya uang Rp.3 – 10 milyar banyak yang punya? Nah itu soalnya.

Pertama, insan film tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh pemerintah. Kedua, sulit untuk mempersatukan insan film lintas generasi. Rasa ego di kalangan perfilman masih sangat besar.

Pernah sekelompok insan film menolak peran pemerintah kemudian menggembalikan Piala Citra yang mereka terima, sampai Ketua BP2N waktu itu, Deddy Mizwar merubah bentuk Piala untuk pemenang FFI 2008 di Bandung. Tetapi rupanya aksi protes dan pengembalian Piala Citra itu hanya menjadi alat bargaining semata, karena setelah pemerintah memberikan peran kepada mereka yang memprotes pemerintah itu, mereka pun diam.

Sampai hari ini insan film masih menikmati nina bobo pemerintah melalui pembiayaan berbagai kegiatan yang diadakan. Terutama dalam penyelenggaran Festival Film Indonesia. Akibatnya, insan film tak bisa memperjuangkan nasibnya sendiri sebagai insan kreatif yang merdeka. Memperjuangkan lahirnya PP / Permen dari UU No.33 tahun 2009 secara lengkap saja mereka tidak bisa!

Oleh : Herman Wijaya

 

).

Share :

Baca Juga

Olahraga & Hiburan

Tim Patriot Laporkan Pendudukan Kantor Parfi Secara Ilegal ke Bareskrim

Olahraga & Hiburan

Empat Wartawan Penjelajah Sampai Kilometer Nol Sabang

Olahraga & Hiburan

“The Ambush”, Film Perang Tanpa Wajah Amerika

Olahraga & Hiburan

Empat Wartawan Penjelajah Bermotor Merapat di Toli Toli

Olahraga & Hiburan

Gibran Beritahu Menpora Soal Turnamen Sepakbola Antarwartawan

Olahraga & Hiburan

PSI: Segera Serahkan Bonus untuk Tim Thomas Indonesia

Olahraga & Hiburan

DSRT Raih Tiga Piala dari Dragrace Cicangkal

Olahraga & Hiburan

Vaksinasi Syarat Utama Kesuksesan Gelaran Mandalika WSBK