Home / Berita / Historia / Tokoh

Jumat, 7 Januari 2022 - 06:24 WIB

DI BALIK REFORMASI 1998: Menapak Perjuangan Intelektual

Laksanama Sukardi

Laksanama Sukardi

Oleh LAKSAMANA SUKARDI

SAYA melihat bahwa ketentuan dan sanksi yang tercantum dalam Undang-Undang Perbankan, ternyata tidak pernah berlaku terhadap bank yang dimiliki oleh para pengusaha kroni dan kerabat istana. Bank Indonesia yang tidak independen juga tidak berani mempertanyakan kasus mereka, karena dianggap tabu dan membahayakan karier dan jabatan mereka di Bank Indonesia. Akhirnya, para pengawas perbankan yang bekerja di Bank Indonesia, alih-alih melakukan tugasnya dengan baik, mereka menjadi bagian dari masalah perbankan, karena terlibat dalam kegiatan manipulasi laporan kesehatan dan pelanggaran bank.

Lebih parah lagi, pers dan media di Indonesia pada waktu itu tidak ada yang berani meliput praktek-praktek tercela dunia perbankan yang melibatkan pusat kekuasaan, melalui kaki tangan para kroni.

Korban awal yang cukup berskala besar, adalah jatuhnya Bank Suma di tahun 1992. Praktek-praktek pemberian kredit kepada teman dan pemegang saham di Bank Summa pada waktu itu telah menjatuhkan Bank tersebut. Bank Indonesia berani menutup dan meminta pemegang saham untuk menanggung semua kewajibannya karena tidak ada keluarga Presiden dan kerabat kroni yang terlibat sebagai pemilik saham Bank Summa.

Bank Summa dimiliki oleh Edward Soeryadjaya, putra taipan William Soeryadjaya, pemilik perusahaan besar yang tergabung dalam ASTRA group. ASTRA merupakan satu-satunya perusahaan yang dikelola oleh manajemen profesional pada waktu itu. ASTRA relatif tidak memiliki koneksi politik dengan penguasa Orde Baru.

Baca Juga  TNI Siapkan Rencana Pengamanan Terpadu untuk World Water Forum ke-10

Akhirnya, William Soeryadjaya harus mengorbankan kepemilikannya di ASTRA untuk membayar semua kewajiban Bank Summa.

Kejatuhan Bank Summa di tahun 1992 membuat saya semakin yakin bahwa kehancuran perbankan Indonesia tinggal menunggu waktu saja. Jika perbankan ambruk, ekonomi akan ambruk! Saya sangat mengkhawatirkan akan transparansi yang tidak diterapkan dalam perbankan. Para bankir berlindung pada pasal-pasal kerahasiaan bank dalam undang-undang. Mereka enggan membuka informasi mengenai kredit macet dan profil nasabah penerima mega-kredit.

Apa yang dipraktekkan oleh Bank Summa pada waktu itu juga merupakan hal yang lumrah di bank-bank lain, terutama bank-bank pemerintah. Kredit diberikan secara serampangan tanpa prinsip kehati-hatian. Jika pada bank swasta diberikan kepada pemegang saham, pada bank pemerintah mega-kredit diberikan kepada para kroni berdasarkan rekomendasi dan koneksi politik. Sama saja, apakah bank swasta atau bank pemerintah, mereka tidak perduli dengan kualitas kredit.

Bank Indonesia sekali lagi tidak mampu berfungsi, karena Bank Indonesia merupakan bagian kekuasaan yang tidak independen. Lebih parah lagi, Bank Indonesia justru mengumbar kredit likuiditas berbunga murah kepada grup tertentu dengan menggunakan beragam dalih dan alasan.

Tidak hanya penyaluran kredit bank yang tertutup, bahkan penggunaan dana-dana pensiun seperti Jamsostek, Taspen, Astek juga disalurkan secara politis. Walaupun praktek semacam ini sudah menjadi rahasia umum dan dianggap wajar, tetapi dalam laporan resmi dan media publik tetap dirahasiakan, dengan alasan berlindung di balik  kerahasiaan bank yang dilindungi oleh undang-undang. Artinya, pasal kerahasiaan yang tercantum dalam undang undang perbankan digunakan untuk merahasiakan informasi penyaluran mega-kredit dan kredit macet kepada kerabat kroni yang berkolusi dengan para pejabat. Pertanyaan-pertanyaan mengenai pelanggaran tersebut pun tidak pernah dijawab, karena alasan kerahasiaan bank.

Baca Juga  Conny Nurlita Nyanyikan Lagu Dangdut Rohani, Avent Christie Jadi Pengkhotbah

Pada saat itu, dalam kecemasan yang sangat besar, saya hampir kehilangan kesabaran. Tapi, ketika teringat apa yang terjadi pada para senior penanda tangan Petisi 50, saya menahan diri. Namun demikian, saya merasa harus berjuang secara intelektual, yaitu dengan terus menulis dan memberikan pencerahan kepada masyarakat sebagai tanggung jawab saya dalam merespon keadaan yang terjadi.

Saya berupaya memberikan pencerahan akan pentingnya keterbukaan informasi dalam upaya untuk mengontrol perbankan, sekaligus mengingatkan jika perbankan tidak direformasi dengan analogi “cuci darah”, maka perbankan akan mati. Karena racun di dalam darah sudah menjalar kemana-mana.

Pada akhir tahun 1992, saya mulai mengingatkan bahwa ketahanan ekonomi nasional harus dipelihara. Oleh karena itu transparansi perbankan harus segera diterapkan dan praktek-praktek pemberian kredit yang didasari oleh intervensi pejabat melalui telepon dan memo harus dicegah. Saya merasa khawatir jika otoritas keuangan dan perbankan membiarkan hal tersebut, maka perbankan akan bermasalah dan mengakibatkan kesulitan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk saya.

Oleh karena itu saya semakin mantap menapak perjuangan intelektual, antara lain dengan menulis kolom di majalah Tempo, 19 Desember 1992 dengan judul yang saya anggap cukup provokatif (dalam konteks politik pada saat itu), yaitu: Sudah Saatnya Cuci Darah. Dan Tempo tidak mengubah judul tersebut.

Baca Juga  Bhagawad Gawat

Sudah Saatnya Cuci Darah

“Jika kerahasiaan bank dijadikan alasan untuk tidak mengumumkan kredit-kredit berskala besar kepada masyarakat, maka yang terjadi tetap seperti sekarang. Yakni, adanya kolaborasi antara pengusaha, penguasa, dan bankir. Kemudian adanya “memo-memo sakti” dan “telepon sakti” seperti yang disinyalir oleh Menteri Keuangan J.B. Sumarlin. Lalu pemilik bank akan terus berusaha untuk menyalurkan kredit bagi dirinya sendiri, baik bekerja sama dengan manajemen pelaksana maupun memaksa pelaksana yang notabene digaji oleh mereka. semua ini mengakibatkan perbankan Indonesia tetap misterius, karena tidak ada yang berani menjamin bahwa tidak akan ada lagi bank lain yang menyusul Bank Summa. Dan akhirnya yang muncul hanyalah isu-isu yang berkembang dan membahayakan ketahanan ekonomi nasional”.

“Jika dari dalam tubuh kita mengalami keracunan, satu-satunya sikap yang diperlukan untuk menyelamatkan tubuh kita adalah kita harus mau menerima dan mengakui kenyataan bahwa memang ada racun di dalam tubuh kita. Dan kemudian kita harus berani mengambil keputusan untuk cuci darah. Sekarang sudah saatnya perbankan Indonesia mengambil keputusan untuk melakukan “cuci- darah”. Laksamana Sukardi

(BERSAMBUNG: Malapraktek Perbankan Indonesia)

Share :

Baca Juga

Berita

Indonesia Ikuti Sidang IMO ke-132 di London

Berita

Densus 88 Amankan 4 Terduga Teroris WN Uzbekistan
PRABOWO

Berita

Arahan Prabowo di Apel Terpusat yang Dipimpin KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa

Berita

Rifky Balweel Punya Jimat Ampuh, Doa Ibunda Tercinta

Berita

Presiden Harus Perhatikan agar “Dwifungsi” Polri Tidak Kebablasan

Berita

Manifestasi Kecemburuan Masyarakat dalam Kasus Sambo dan Mario
Luhut B Pandjaitan

Berita

Bukan Pada Haris Ashar, Luhut B Pandjaitan Sering Tanya: Berapa Nilai Matematikamu?
HPN

Berita

Penghargaan untuk Santoso, Mantan Ketua PWI Kota Madiun di Hari Pers Nasional