Oleh LAKSAMANA SUKARDI

PADA tahun 1991, ada peristiwa yang menjadi momentum dan membantu saya untuk mengambil keputusan. Meletusnya perang teluk di Timur Tengah (Agustus 1990 – Pebruari 1991), telah berpengaruh terhadap kondisi perekonomian Indonesia. Terjadi peningkatan inflasi kenaikan harga-harga, defisit neraca pembayaran semakin membesar dan cadangan devisa pun semakin tersedot karena dampak perang dan kenaikan harga minyak telah membuat perekonomian negara-negara maju sangat tertekan dan sekaligus memberikan dampak negatif kepada Indonesia.
Menteri Keuangan J.B. Sumarlin pada waktu itu bereaksi dengan menerapkan kebijakan uang ketat atau yang dikenal dengan gebrakan Sumarlin II. Sumarlin pada waktu itu menarik likuiditas dari perbankan dengan memaksa BUMN untuk memindahkan depositonya ke Bank Indonesia dan mengurangi jumlah uang beredar dengan menaikkan tingkat suku bunga deposito.

Gebrakan Sumarlin memberi peringatan kepada perekonomian Indonesia, terutama kepada para pengusaha dan penguasa yang sedang pesta pora menikmati kredit likuiditas dari perbankan nasional. Mereka harus jeda sebentar. Atau menginjak rem secara mendadak. Perbankan berhenti menyalurkan kredit karena tidak ada likuiditas dan suku bunga terlalu tinggi untuk diputarkan dalam perdagangan atau investasi. Konsekuensinya perekonomian mengalami stagnasi dan perbankan praktis tidak ada kegiatan pemberian kredit.
Ditengah kemelut ekonomi seperti ini, ternyata ada berita yang mengejutkan, yaitu Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC) mendapat bantuan kredit likuiditas berbunga murah dari Bank Indonesia. Saya masih ingat jumlahnya sebesar Rp 759 milyar atau US$325 juta.
BPPC terdiri atas unsur Induk Koperasi (Inkud) dari unsur koperasi, P.T. Kerta Niaga dari unsur BUMN dan unsur swasta melalui P.T. Kembang Cengkeh Nasional (KCN) milik Tommy Soeharto, putra bungsu mantan Presiden Soeharto yang berstatus sebagai pimpinan BPPC. Kredit likuiditas sebesar Rp759 milyar itulah yang disuntik Bank Indonesia sebagai modal BPPC.
Itu berarti Bank Indonesia telah melanggar kebijakannya sendiri!
BPPC memperoleh hak-hak istimewa seperti memonopoli dagang, menentukan harga beli dan jual serta memaksa petani untuk menyetorkan simpanan wajib khusus petani (SWKP). Peraturan pemerintah mewajibkan para petani cengkeh untuk menjual cengkehnya ke BPPC dengan harga tertentu. Para petani tidak boleh lagi menjual cengkehnya langsung ke pabrik rokok.
Saya tidak mempermasalahkan apakah ini tindakan kriminal atau bukan, akan tetapi saya sangat kecewa terhadap kebijakan yang diambil oleh team pendekar ekonomi, teknokrat yang menyandang standar intelektual di Indonesia pada waktu itu.
Pandangan saya terhadap para ekonom teknokrat yang mengelola perekonomian Indonesia langsung berubah. Rasa hormat saya kepada mereka mendadak sontak hilang. Mereka mau saja mengorbankan kapasitas intelektualnya sebagai ekonom pandai, bergelar doktor ekonomi, dengan melanggar prinsip kaidah ekonomi yang mereka percayai, melanggar kebijakannya sendiri, demi memberikan pengabdian kepada para kroni penguasa. Mereka tidak peduli dengan nasib para petani cengkeh yang mengalami kerugian akibat kebijakan tersebut.

Hal tersebut juga suatu bukti bahwa proses lobotomi sudah merangsek ke semua golongan. Tidak hanya golongan yang kurang berpendidikan, tapi golongan intelektual pilihan di Indonesia yang berpredikat teknokrat ekonomi pun sudah mengalami proses lobotomi. Para teknokrat yang sangat piawai berfungsi sebagai “pemadam kebakaran” ternyata ikut berperan aktif dalam menciptakan “kebakaran!”
Bagi saya, momentum tersebut telah memberikan pelajaran yang sangat penting dan menjadi pemicu, untuk mulai mempertimbangkan kemungkinan menjadi politikus. Kenapa demikian? Ternyata arah kebijakan dan nasib bangsa bukan ditentukan oleh para ekonom dan keuangan, tetapi oleh keputusan politik !
Momentum inilah yang menjadikan saya sangat yakin untuk mulai mengarungi dunia politik dan siap untuk melepaskan profesi saya sebagai bankir. Saya sudah tidak memikirkan fasilitas keuangan yang saya peroleh, karena masa depan perbankan di Indonesia juga akan ambruk. Dengan demikian saya mulai perlahan-lahan menutup lembaran kehidupan saya sebagai seorang bankir profesional dan membuka lembaran baru di dunia politik. Saya memutuskan untuk memulai eksplorasi perjalanan ke dunia politik!
Di tahun 1991, saya menjadi anggota Partai Demokrasi Indonesia. Pada Pemilu 1992 saya terpilih menjadi anggota DPR/MPR RI melalui daerah pemilihan Jawa Barat. Saat itu saya belum melepaskan jabatan sebagai Managing Director Lippobank, karena kegiatan politik saya masih tidak aktif. Namun setelah saya menjadi Bendahara umum Partai Demokrasi Indonesia di bawah ketua umum Megawati di tahun 1994, kegiatan politik saya mulai menyita waktu sehingga saya putuskan untuk berhenti dari Lippobank (Baca Politikus Kasta Paling Rendah)
Predikat politisi dan bankir yang melekat pada diri saya, menjadikan saya sebagai incaran wartawan-wartawan ekonomi untuk mendapatkan komentar dan informasi “latar-belakang” yang akan mereka muat dalam laporannya. Karena saya dianggap mewakili orang di luar pemerintah (partai non pemerintah), dan dianggap memiliki pendapat dan pikiran yang independen.
Saat itu banyak juga bankir yang merangkap kader Golkar (Pemerintah). Tapi, bankir politisi yang independen seingat saya hanya saya sendirian. Pada waktu itu independensi dari pemerintah merupakan barang langka! Namun demikian, saya tetap berhati-hati dan selalu mempertahankan opini saya secara profesional. Saya juga lebih banyak menulis kolom yang menanggapi permasalahan-permasalahan di bidang perbankan.
Dalam konteks keterbukaan dan politik, saya harus berhati hati. Ada fatsun yang saya harus pegang agar saya tidak dicap sebagai orang orang pembangkang seperti anggota Petisi 50. Saya tidak boleh mengkritik dan memaki-maki pribadi pejabat, terutama mengusik kekuasaan rejim KKN. Saya lebih banyak menggunakan satire dan perumpamaan agar selamat. Saya pikir, ini juga merupakan self-censorship yang pada waktu itu wajib diadaptasi jika kita ingin selamat.

Namun demikian, tulisan dan tanggapan saya ternyata dianggap cukup berani, terutama dalam konteks iklim represif pada waktu itu. Padahal, tujuan saya adalah untuk memprovokasi daya nalar para elit dan masyarakat untuk keluar dari pengaruh budidaya lobotomi yang membuat bangsa kita menjadi bodoh dan tidak mampu berpikir secara kritis.
Tulisan-tulisan saya pada umumnya diinspirasi oleh pengalaman melihat kenyataan-kenyataan yang terjadi, dan keinginan saya sebagai seorang pemuda untuk memperbaiki keadaan perekonomian Indonesia. Saya juga menginginkan agar masyarakat mau berpikir secara kritis dengan memberikan rekomendasi dan sekaligus memberikan pencerahan secara profesional. Non politik!* (BERSAMBUNG: Bertanya itu Haram)