DeFACTO.id – Kondisi perbatikan di Desa Kenongorejo, Kecamatan Pilangkenceng, Kabupaten Madiun, saat ini sangat memrihatinkan. Bisa dibilang hidup enggan matipun tak mau. Padahal di era tahun 60-an Desa Kenongorejo sempat moncer di bidang perbatikan.
Saat itu, produksi batik di desa ini bisa mencapai 10.000 lembar setiap bulannya. Dan rata-rata penduduk setempat berusaha di bidang kerajinan batik ini. Hingga dikenal sebagai batik Kenongo.
Saat ini, yang masih nguri-uri BatIk Handycraft Kenongo tinggal seorang. Yakni Sugino. Namun kondisinya pun cukup memrihatinkan. Bahkan sejak beberapa bulan terakhir, khususnya saat pandemi, usaha batik ini pun tidak berkegiatan lagi. Sekarang hanya tersisa sebuah showroom kecil dengan sedikit stok batik sisa produksi lalu.

Sugiono memulai usaha batik sejak tahun 1991. Ia meneruskan usaha dari ibunya, Sudarmi, yang sudah ada sejak tahun 1950 an.
Menurut Sugiono, pada masa itu dalam sebulan pembuatan batik tulis bisa mencapai 7000 hingga 10.000 lembar kain setengah jadi. Batik setengah jadi itu dikirim ke Ponorogo dan Tulungagung untuk diproses lebih lanjut.
‘’Dulu meskipun penduduk Desa Kenongorejo tidak sebanyak sekarang, tapi mereka bisa mbatik dan memahami filosofi batik,’’ katanya.
Baru tahun 1991, usaha batik milik Bu Sudarmi diteruskan oleh Sugiono. Namun usaha Sugiono itu tidak berlangsung mulus. Melalui proses yang panjang dan jatuh bangun. ‘Apalagi persaingan pasar semakin ketat.
Di Kabupaten Madiun saja ada beberapa usaha batik. Di Mejayan, Kebonsari dan Sendangrejo. Sepertinya Batik Sendangrejo yang dimiliki Bu Rini, guru SD di desa itulah yang masih cukup eksis. Apalagi kini Bu Rini telah mengembangkan batik ecoprint yang ramah lingkungan, hingga disukai buyer di luar negeri. Bahan pewarna pun didapat dari alam.
Karya Adiluhung
Batik adalah karya seni yang adiluhung dan mahal, Mahal bukan dalam artian harga saja. Tapi nilai-nilai dalam setiap corak batik itu memiliki filosofi tersendiri. Jadi tidak boleh asal sembarangan membatik. Butuh ketelatenan keluwesan, kesabaran dan kejelian tingkat tinggi.
Satu orang hanya mampu membuat 1 batik tulis dalam beberapa hari. meski pun orang yang sama membuat batik dengan motif yang sama, belum tentu akan mendapatkan hasil dengan sentuhan yang sama pula. Pasti akan ada perbedaan misalnya saat pewarnaannya.
Sering Dikunjungi

Usaha batik milik Sugiono sering dikunjungi para pejabat. Mereka ingin melihat secara langsung pembuatan batik tulis hasil karya tangan-tangan terampil warga Kenongorejo. Pun sering juga dikunjungi pelajar untuk belajar membatik disana. ‘’Batik tulis itu beda dengan Batik printing. Batik tulis sarat dengan kesakralan dan filosofi,’’kata Sugiono.
Ada beberapa motif Batik Kenongo. Selain bunga kenanga, juga motif porang. Motif bunga kenanga terinspirasi dari Bunga kenanga yang banyak tumbuh di desa Kenongorejo, begitu juga Motif porang, tanaman porang yang banyak tumbuh di Desa Kenongorejo yang terdapat di tepi hutan.
Karena pembuatannya juga butuh ketekunan harganya dibadrol mulai dari Rp 200 ribu hingga sejuta per lembar. Bergatung tinggkat kesulitan pembuatan dan jenis bahannya.
Saat ini produksi batik berhenti total, apalagi masa pademi. Sugiono tidak lagi mempekerjakan karyawan. Apalagi tidak ada lagi konsumen yang singgah showroom-nya. Ia sangat berharap usaha batik miliknya tidak berhenti sampai disini tapi bisa berlangsung sampai ke generasi selajutnya. Meski pun barangkali bukan putra putrinya yang akan melajutkan. Setidaknya ada orang lain yang mau meneruskan dan menularkan ilmu mbatik yang mengandung nilai seni serta budaya leluhur yang tidak ternilai harganya. Sehingga batik Kenongorejo tetap berlanjut.* Yuliana